Rabu, 12 Februari 2014

SEJARAH KOTA SURABAYA



SEJARAH KOTA SURABAYA

Nama Surabaya muncul sejak awal pertumbuhan kerajaan Majapahit. Nama Surabaya diambil dari simbol ikan Sura dan Buaya. Simbol itu sesungguhnya untuk menggambarkan peristiwa heroik yang terjadi di kawasan Ujung Galuh (nama daerah Surabaya di masa silam), yakni pertempuran antara tentara yang dipimpin Raden Widjaja dengan pasukan tentara Tar Tar pada tanggal 31 Mei 1293. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Surabaya.
Awalnya Surabaya adalah kawasan perkampungan atau pedesaan di pinggiran sungai. Nama-nama kampung yang kini masih ada seperti Kaliasin, Kaliwaron, Kalidami, Ketabangkali, Kalikepiting, Darmokali, dan sebagainya adalah bukti yang menjelaskan bahwa kawasan Surabaya adalah kawasan yang memiliki banyak aliran air / sungai. Secara geografis ini sangat masuk akal, karena memang kawasan Surabaya merupakan kawasan yang berada di dekat laut dan aliran sungai besar (Brantas, dengan anak kalinya).
Lokasi Surabaya yang berada di pinggir pantai, merupakan wilayah yang menjadi lintasan hilir mudik manusia dari berbagai wilayah. Surabaya, menjadi pertemuan antara orang pedalaman pulau Jawa dengan orang dari luar. Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Sementara, Kalimas menjadi “sungai emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap Tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.
Asal Kata “Surabaya” dan Simbol “Sura dan Baya”

Sumber : http://repoebliek.wordpress.com/2011/07/16/sejarah-kota-surabaya/

ASAL USUL KENTONGAN



ASAL USUL KENTONGAN

Mungkin para pemuda sekarang akan lebih jarang yang tahu ketika ditanya apa itu kenthongan dibandingkan kefamiliaran facebook dan twitter ataupun tempat-tempat popular modern masa kini. Padahal secara historis kenthongan yang memiliki peran yang sangat berguna sebagai alat komunikasi sebelum
ditemukannya atau merebaknya alat komunikasi modern seperti telephone. Kentongan atau yang dalam bahasa lainnya disebut jidor adalah alat pemukul yang terbuat dari batang bambu atau batang kayu jati yang dipahat. Kegunaan kentongan didefinisikan sebagai tanda alarm, sinyal komunikasi jarak jauh,morse, penanda adzan, maupun tanda bahaya. Ukuran kentongan tersebut berkisar antara diameter 40 cm dan tinggi 1,5 M – 2 M. Kentongan sering diidentikkan dengan alatkomunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan. Sejarah Menurut Moerjtipto, th 1990. Sejarah budaya kentongan sebenarnya dimulai sebenarnya berasal dari legenda Cheng Ho dari Cina yang mengadakan perjalanan dengan misi keagamaan. Dalam perjalanan tersebut, Cheng Ho menemukan kentongan ini sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Penemuan kentongan tersebut dibawa ke China, Korea, dan Jepang. Kentongan sudah ditemukan sejak awal masehi. Setiap daerah tentunya memiliki sejarah penemuan yang berbeda dengan nilai sejarhnya yang tinggi. Di Nusa Tenggara Barat, kentongan ditemukan ketika Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa sekitar abad XIX menggunakannya untuk mengumpulkan massa. Di Yogyakarta ketika masa kerajaan Majapahit, kentongan Kyai Gorobangsa sering digunakan sebagai pengumpul warga. Di Pengasih Jogjakarta, kentongan ditemukan sebagai alat untuk menguji kejujuran calon pemimpin daerah. Di masa sekarang ini, penggunaan kentongan lebih bervariatif. Manfaat Kentongan Awalnya, kentongan digunakan sebagai alat pendamping ronda untuk memberitahukan adanya pencuri atau bencana alam. Dalam masyarakat pedalaman, kentongan seringkali digunakan ketika surau-surau kecil atau sebagai pemanggil masyarakat untuk ke masjid bila jam sholat telah tiba. Di masjid, biasanya kenthongan merupakan pelengkap bedhug yang biasanya dipukul sebelum bedhug dibunykan. Sedangkan di mushola-mushola, kentongan lbih banyak terlihat sendirian tanpa adanya bedhug. Ada kisah menarik dari masa dahulu tentang kentongan dan bedhug, pada sebagian masyarakat Islam alat pemanggil jama’ah sholat ini sering dijadikan media sebagi lomba pemukul bedhug. Kenthonganpun menjadi alat pelengkap media lomba yang menghasilkan suara lebih bagus. Entah sekarang masih ada atau tidak, karena kini masyarakat terlebih generasi mudanya lebih gandrung dengan teknolgi.
SUMBER : http://alfinlatife.blogspot.com/2012/08/asal-usul-kentongan.html